My First Love Part 1



My First Love
Part 1

                Sudah sesiang ini, tapi Rio belum juga keluar ruangan. Tidakkah dia sadar, sudah hampir satu jam aku menunggunya.  Aku menundukkan kepala, lama sekali dia.. Pikirku. “Neira, nungguin siapa???” sapa seseorang. Aku menoleh ke asal suara, ku lihat Danar berdiri dihadapanku. Danar, sahabatku sejak kecil. Aku mengenalnya karena dia tetanggaku. Awalnya aku sangat memebenci dia. Karena dia selalu jahil terhadapku. Namun, sejak kami sama sama masuk SD, kami tak lagi bertengkar. Kita malah menjadi sahabat baik, hingga saat ini. Dia selalu membuatku merasa nyaman. Karena dia, aku ngerasa aku tidak sendiri lagi. Meskipun Papa sedang berada di luar kota.

“Haii, malah melamun” ucapnya seraya melayangkan tangannya didepan mataku, membuatku sadar. “ehm, aku.. menunggu Rio” jawabku. “Kamu kok tumben belum pulang? Biasanya, begitu mendengar bel, kau langsung lari” lanjutku. “Belum, masih ada beberapa persoalan yang harus kuselesaikan” jawabnya enteng. Aku mengerutkan kening, apa maksudnya? Aku meliriknya heran. Tumben bahasa yang ia gunakan serumit itu. Bisanya, to the point aja dia. Gak peduli aku mau dengerin apa nggak. “Ngapain nungguin Rio?” tanyanya penuh selidik. Aku tersentak, tidak mungkin ku katakan hari ini aku adajanji jalan2 ber-2 dengan Rio. “Memangnya kenapa?” aku balik bertanya. “Klao ditanya itu ngejawab. Bukan balik nanya” kata Danar acuh sambil berlalu meninggalkanku sendiri. Anak yang aneh.

            Beberapa saat kemudian, Rio keluar dari ruang OSIS. Akhirnya.. batinku. “Maaf ya nunggu lama” katanya. Aku tersenyum, menatapnya. Oh, betapa teduh wajah itu. Mampu menghilangkan semua amarah karena manunggunya lama. “tidak apa apa kok. Yuk, sekarang saja” kataku sambil beranjak dari tempatku duduk. Aku melangkahkan kaki duluan. Dadaku terasa bergetar, mungkin, jantungku sedang berlarian di dalam tubuhku. Kami berjalan beriringan. “Jadi, Kita ke taman saja ya” katanya sambil tersenyum. Lesung pipinya terlihat. Manisnya... ingin rasanya aku pingsan saja. “ya” jawabku singkat sambil tersenyum ke arahnya.

            Tak lama, motor Honda Beat warna merah meluncur keluar dari SMAN PANCASILA. Ada sepasang tatapan kecemburuan mengikuti hingga motor hilang karena berbelok.

            Sampai juga di taman. Rio memarkirkan motornya. Aku menunggunya di pinggir bersebelahan dengan penjual minuman dingin yang tampak sangat menggiurkan. Hmm... siang ini, matahari begitu bersemangat mengeluarkan sinarnya, sangat panas.  Rio berjalan ke arahku, tanpa ku sadari. Aku masih saja melihat ke arah minuman yang menyegarkan itu. “Haus ya, tunggu disini sebentar” kata Rio langsung lari membeli minuman itu. Aku masih terpaku berdiri terbengong- bengong. Bagaimana dia bisa tahu pikiranku?

            “Nih” ucapnya sambil meyodorkan Mizone dingin untukku. “Terima Kasih” ucapku setelah menerima minuman itu. Kami berjalan menuju sebuah bangku kosong yang cukup teduh di bawah pohon mangga. Untung, di taman seramai ni mash ada bangku yang kosong. Kami duduk bersebelahan di bangku itu. Bisa kurasakan kecanggungan antara kami. Mungkin, karena kita baru pertama kali jalan ber-2 seperti ini. Pernah kita pergi, tapi tak hanya berdua. Ada Danar, Afina juga ada. Rio adalah teman sebangku Danar. Aku tau semua hal tentang Rio juga dari Danar. Danar belum tahu bagaimana peransaanku pada Rio. Bukannya aku menyembunyikan dari Danar. Hanya saja, aku tak yakin Danar ikhlas menerima. Aku merasa, Danar menyukaiku. Ah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Aku dekat dengan Rio juga baru baru ini, karena Danar. Ketika Danar datang ke rumahku, sering kusuruh dia mengajak Rio turut serta.

            “Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Mungkin, ini terlalu cepat untuk kita, dan terlalu mengejutkan.”  Kata Rio misterius. “ka.. ka... katakan saja” jawabku gugup. Jantungku berdebar semakin kencang. Apakah jantungku sedang melaksanakan lomba lari didalam sana? Sama sekali tak ada niatanku untuk melihatnya. “sebenarnya, aku suka padamu. Sejak kau memberi perhatian padaku.” Katanya yang sukses membuatku tersedak. Aku terbatuk- batuk. Dia tampak khawatir. Setelah aku tak lagi terbatuk- batuk, namun kesadaranku belum sepenuhnya kembali. Dia berlutut dihadapanku. Membuka kotak perhiasan yang berisi cincin berlian bermata satu. Memang tak terlalu besar berlian itu. Dan dengan senyum sumringah dia berkata dengan tegas. “Would you be my girl?”







-TO BE CONTINUE-

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS